Under the Moon

OOT: closed, cuma buat Seiron dan Dio :3

=====

Seiron duduk diam di atas atap Scotland Yard. Pandangannya tertuju ke langit di atas kepalanya. Bintang bertaburan dan bulan sabit yang bersinar terang di langit yang hitam tanpa awan, seperti menggambarkan London yang damai hari ini. Entah kenapa hari ini tenang. Tidak ada penjahat macam pencuri atau apapun itu yang muncul. Yah, bagus sih, walaupun sebenarnya ia mengharapkan pekerjaan...

Terlalu tenang...

Seiron mengalihkan pandangannya dari langit di atasnya ke pemandangan kota London yang terhampar di depannya. Memang benar, hari ini terlalu tenang, rasanya agak 'kurang enak' bagi seorang workaholic seperti Seiron yang ke mana-mana selalu memikirkan pekerjaan. Jalan-jalan keliling kota juga hanya dengan alasan 'patroli', padahal sudah ada polisi yang bertugas. Apa mungkin karena tertular Madame Riverbank yang pada dasarnya ambisius itu?

"London di malam hari memang indah. Tapi..." batinnya gusar, [i]"Bukannya suasana tenang itu adalah kesempatan bagi para penjahat untuk beraksi? Justru karena tenang itu warga dan juga kami para Scotland Yard merasa bahwa hari ini sudah berakhir dan kami bisa tidur dengan nyenyak, kan? Tapi kalau malam-malam begini yang keluar mungkin......... Pencuri?" batinnya. Sepertinya isi kepala gadis tomboi itu memang tidak pernah lepas dari pekerjaan- penjahat-keselamatan warga-ratu-pekerjaan-penjahat-keselamatan warga-ratu-London-pekerjaan---

..........

Ia bergeser sedikit dari tempat duduknya. merasakan ada orang lain selain dirinya di atap itu. Seiron tersenyum kecil sementara mata biru gelapnya menatap bulan tepat di atas Kota London yang terhampar di depannya. "Daripada terus diam di situ, kenapa kamu tidak menemaniku duduk di sini?" katanya kepada orang lain selain dirinya di atap itu.

-----

oot: sori Len, kaga ada ide buat judul =))

oot: timeline setelah tret di wardlast, asumsi saya di belakang anda :3
==

Anak itu melompat-lompat dari atap satu ke atap yang lainnya. Hup, hup, hup, dari rumah ini, ke bangunan itu, lalu berlanjut terus sampai ia menemukan atap yang enak untuk ditumpangi sejenak. Ikat kepala merah Dio berkibar-kibar diterpa angin malam di belakangnya dan hanya berhenti ketika ia melihat punggung seseorang di atap yang ia tuju.

"Hup."

TEP

Hmm...siapakah orang yang membelakanginya itu, duduk tenang selagi menikmati langit dan pemandangan kota? Wah, ternyata akhir-akhir ini banyak makhluk yang suka bermain ke tempat tinggi ya, Dio jadi agak takjub juga.

Anak itu menggaruk bagian belakang kepalanya dengan perlahan, bersiap melangkah untuk berpindah tempat, mencari atap lain, ketika suara orang itu terdengar. Suara...seorang gadis. Dan gadis itu mengajaknya untuk ikut duduk disana, di sebelah gadis itu sepertinya.

"Hmm..." Dio bergumam. Tanpa pikir panjang--yah ia sempat berpikir sejenak sih--menerima ajakan gadis itu lalu mendudukkan dirinya tepat di sebelah. Setelah memperhatikan gadis itu dari atas ke bawah, ia berkata tenang. "...Dio. Kamu?"

Seorang pemuda menghampirinya, menerima ajakannya untuk menemaninya di situ. Dilihat dari penampilannya, ia seperti sudah terbiasa berada di tempat yang tinggi tanpa takut terjatuh. Apa mungkin pencuri? Haaah... Ayolah, Seiron, satu malam ini saja kamu melupakan soal begituan dari otakmu..

Pria berikat kepala itu duduk di sebelahnya. Seiron melihat pria itu dengan alis naik satu saat pria itu memperhatikan dirinya yang mengenakan mantel biru favoritnya dari bawah ke atas. Bergidik sedikit. Ia tidak biasa diperhatikan seperti itu, bahkan oleh Madame Riverbank sekalipun.
Setelah balas memperhatikan pria itu, ia membalas, "...Sei" tidak memberitahukan nama lengkap kepada orang asing yang baru dikenalnya, bahkan nama lengkap dari nama kecilnya nama palsu juga tidak. Yah... Gadis ini memang curigaan..
"Apa yang kamu lakukan di atap gedung kepolisian malam-malam begini?" tanyanya santai tanpa ada maksud menginterogasi atau apapun itu.

"Hoo..." responnya singkat, padat, dan...tidak jelas. Yah, yang penting ia tahu nama gadis itu. Penting? Nggak juga sih, ia ingin tahu saja kok.

Gadis itu lanjut bertanya apa yang ia lakukan, namun anak itu diam. Kemudian ia menguap lebar-lebar. "Fuaaah~" seraya kuapan, punggung Dio merebah di atap. Di atasnya terhampar langit malam cerah yang indah.

Ah jadi mengantuk...

"Yang kulakukan hanyalah apa yang sedang kamu lakukan juga, kan?" jawabnya santai dengan kedua lengan menopang bagian belakang kepala. "Jadi, mana yang lebih bagus, yang ada di atas atau yang ada di bawah?"

"Yang mana yang lebih bagus, yang ada di atas atau yang ada di bawah?" tanya laki-laki bernama Dio itu. Pertanyaan yang tidak lengkap..apa maksudnya itu? Kalau diartikan bisa jadi macam-macam, kan? Tapi kalau dilihat dari segi apa-yang-mereka-lakukan-sekarang, mungkin maksudnya adalah bulan dan Kota London?

"Maksudmu lebih bagus bulan atau Kota London?" tanyany agak tidak mengerti maksud pertanyaan itu.

Ia menerawang...

Bulan hari ini terang.. London juga sedang tenang.. "Dua-duanya, mungkin?" jawabnya

"Hmm...jadi yang buatan dan yang asli kamu suka dua-duanya ya?" lagi-lagi ia bergumam. Matanya tak lepas dari bulan yang memancarkan cahaya kuning temaram. Bintang-bintang yang jauh bertaburan disana, seolah-olah bisa diraih kalau ia mengulurkan tangannya sedikit lebih panjang saja.

"...Kontradiktif sekali," ucapan itu pelan, namun jelas. Ketika angin berhembus mengacakkan rambutnya yang berwarna-warni, perlahan tapi pasti kedua permata hijaunya menutup.

"Yang palsu dan yang asli.. Sebenarnya tidak ada bedanya.." katanya santai, agak asal-asalan. Yah, apa bedanya?Bukannya secara fisik semua benda itu 'sama'? Tinggal bagaimana cara orang memandang benda itu sebagai apa, kan?

"Kota London ini buatan, tapi banyak yang suka berada di dalamnya. Bukankah begitu?" sambungnya lagi dengan senyum tipis di wajahnya. Seiron bangkit berdiri lalu berjalan ke tepian dari atap itu, seolah mendekati bulan yang ada di atas kota London tapi berada tepat di depan pandangannya di atas atap yang tinggi.

"apanya yang kontradiktif?" tanyanya santai sementara ia terus berjalan menelusuri tepian atap. Wah, salah langkah sedikit selesai sudah.. 83;;

"Hee...Aku tidak bisa berkata itu tidak benar," dengan tetap memejamkan mata, ia tersenyum kecil. "Memang semua ini adalah buatan..." Dengan jeda diam yang cukup lama membuat kata-katanya tergantung secara tak menyenangkan.

Yah, tentu saja. Tugasnya kan mengambil kembali 'buatan yang hidup' ke 'pembuat' aslinya. Hampir saja ia lupa saking sudah begitu lamanya ia tenggelam dalam kehidupan dunia, tanpa ambil pusing mengurusi daftarnya yang semakin panjang. Bulu mata anak itu mengerjap membuka. Dilihatnya gadis itu berjalan menyusuri sisian atap, seperti seekor kucing yang ahli.

"Kontradiktif," posisi berbaringnya tidak berubah, sementara ia terus memandangi pergerakan Sei. "Karena kamu menyamaratakan apa yang dibuat langsung oleh pencipta asli dengan apa yang dibuat makhluk ciptaannya menjadi suatu hal bernama benda..."

...Kenapa dia jadi penasaran, apakah Sei ada dalam daftarnya atau tidak?

"Padahal sangat berbeda, tapi kamu anggap sama...apa lagi kalau bukan disebut kontradiktif?"

"Memang berbeda, tapi nilai keindahan yang ada di dalamnya sama karena memberikan... perasaan ini kepadaku. Aku rasa tidak penting siapa yang menciptakan asalkan kita bisa menikmatinya, bukan?"
balasnya tenang walaupun agak kurang mengerti perkataan Dio. Sementara Seiron berjalan menelusuri atap, ia berpikir, "Dasar, pikiran orang ini terlalu berbelit-belit ya.."

Ia kembali mengarahkan pandangannya ke London yang terang karena sinar bulan. Indah. Bukannya sama saja jika yang membuat ini bukan manusia? Toh semua orang juga akan berpikiran sama.

"Menurutmu bagaimana?" tanyanya, menghentikan langkahnya dan menatap London yang masih bersih, "Kota London, maksudku,"

Gadis itu balik bertanya akan pendapatnya terhadap kota yang menjulang di bawah kaki mereka. Kota London. Sudah berapa lama ia berada disana? Lima puluh tahun? Seratus tahun? Ah, anak itu lupa. Yang ia ingat hanya warna bola mata gadis itu yang cerah ketika mengajaknya masuk ke keluarga Wardlast...yang bahkan tak pernah menarik minatnya secuil pun. Ia juga berpindah kesana kemari, tapi hidupnya paling lama ia habiskan di kota tempat tinggal gadis itu.

"...Kota ini membosankan," dari segala segi, lanjutnya dalam hati. "Hanya ada kehidupan yang berlanjut terus mengikuti siklus tanpa henti: lahir, hidup, mati. Membosankan...minus tempat tinggi yang bertebaran, kota ini tak ada apa-apanya."

Diam sejenak.

Punggungnya terangkat dan dengan melompat ke depan, ia berdiri. Tapakannya mantap di atas atap. "Yah, sangat menguntungkan bagiku, sebenarnya," Dio ngulet, kuapnya tak tertahankan sehingga kata-katanya menjadi kurang jelas. "Huaaah--kota suram dan banyak mayat--hhmmm..."

Pria itu berpendapat bahwa London itu membosankan. hahaha... Beda sekali dengan Seiron yang agak menjurus ke arah fasisme daripada cinta London. Padahal tanah airnya Jepang..*sigh*. Ia suka karena London yang mengijinkannya untuk hidup tenang tanpa teror yang melanda keluarganya seperti dulu. Sial.. semoga pelariannya ke negara ini berjalan lancar. Males banget kalau sampai harus hidup dalam pelarian lagi.

"Kamu itu... Seperti sudah lama tinggal di sini dari jaman moyang," balasnya melanjutkan lagi perjalanannya menyusuri atap. Weeh... Emang umurnya sudah tua ya, merasa bosan sampai segitunya?

Eh, sebentar, mayat? "apa maksudmu dengan menguntungkan? Apa kamu ini sejenis pengekspor organ dalam?" tanyanya dengan dahi mengerenyit. Siapa yang ia hadapi sekarang, sih?

"Kamu itu...seperti sudah lama tinggal di sini dari jaman moyang"

Memang, tanggapnya, namun hanya di dalam hati. Di luar, ia tersenyum samar pada Sei. Senyum tanpa arti apapun. Tidak mungkin kan dia jawab begitu? Dio memang pemalas dan pelupa, tapi, untungnya, tidaklah sebodoh itu. Siapa tahu gadis itu punya fetish terhadap 'makhluk asing'? Bisa saja kan? Yah, walaupun kalau ketahuan juga tidak apa-apa sih. Ia tinggal--hmm, apa istilahnya? Ah, ya--'menambah daftar'-nya.

Namun terlontar kalimat yang cukup lucu saat gadis itu mulai menapak lagi. "Pfft--Haha," senyumnya melebar sedikit. "Pengekspor organ dalam? Benar juga kamu. Mungkin bisa dibilang begitu." Nyawa juga organ dalam, kan?, batinnya.

Ia mendekati Sei perlahan dengan tangan dalam saku dan berhenti di depannya, menghalangi jalan gadis itu di tepian. "Kamu sendiri? Apa yang kamu lakukan untuk hidup?" ucap Dio.

Ha, dia malah tertawa mendengar pertanyaan Seiron soal organ dalam. Weh, beneran ya? Pedagang gelap dong? "Wah, legal gak tuh?" tanyanya sekedar memastikan. Kalau ilegal ya ditangkap dan selesai sudah hari yang tenang ini. Haaah...

Seiron masih melanjutkan perjalanan kecilnya saat Dio tiba-tiba menghampirinya dan menanyakan hal yang ia lakukan untuk hidup. Sial. Jangan tiba-tiba begitu dong mas, nyaris saja dia jatuh kalau tidak segera menggeser kaki kirinya ke belakang untuk mendapatkan keseimbangan. "yah...dengan bekerja. Pekerjaanku cukup menghasilkan dan aku sangat menikmatinya," jawabnya sambil perlahan kembali ke posisinya semula. Tepat berhadapan dengan Dio.

Dio mengangkat bahu dengan santai. "Entahlah. Menurutmu legal atau tidak?" tanyanya balik, sementara jaket merahnya tidak melakukan apapun untuk membantu menahan angin kencang menusuk sumsum yang datang tiba-tiba.

WUSH!

Menari-nari rambutnya yang dicat hijau, menemani warna merah ikat kepalanya. Di balik kacamata kuningnya, bola mata anak itu berkilat tajam seraya dedaunan yang lepas dari pohon yang bergemerisik keras mengelilingi mereka, melayang diterpa angin kesana-sini.

Dan Dio tidak merepotkan diri mencari pegangan agar tidak jatuh dari tepi atap tersebut. Anak itu hanya berkata, "Begitu? Yah, kira-kira sama. Aku juga menikmati pekerjaanku..."

Seiron hanya menaikan satu alisnya dan berkata, "legal asal kamu punya surat ijinnya" ia tidak ingin menghapus suasana tenang hari ini walaupun ada apapun yang terjadi. Hari semakin malam namun bulan bersinar semakin terang, seperti ingin menggantikan tugas Matahari.

Hening sejenak. Hari semakin dingin membuat tubuh Seiron agak menggigil. Ia lupa kalau saat itu sedang musim dingin dan ia hanya memakai jaket yang tipis. Sial, semoga saja ia tidak masuk angin besok. Bagaimana dengan semua kerjaannya kalau ia sampai sakit besok?

"Eh," katanya mengabaikan pernyataan Dio tentang pekerjaannya sendiri dan berusaha menegakan tubuhnya untuk mendapatkan keseimbangan. "Bisa tolong mundur sedikit? Kamu tiba-tiba memotong jalanku begini, salah sedikit aku bisa jatuh nih," katanya dengan sedikit nada cemas yang ditutup-tutupi.

Gadis itu memintanya untuk mundur. Catat, dengan nada cemas walaupun tidak terlalu kentara. Kelihatannya keseimbangan tubuh Sei agak goyah karena...terpaan angin? Atau dirinya yang berdiri tenang di atas kedua kaki, sengaja memotong jalan gadis itu? Yang manapun, hasilnya sama saja.

"Jatuh pun tak apa. Bukankah menyenangkan, perasaan ketika tubuh kita terdorong gravitasi sementara angin mendesak kita dari bawah?" ucapnya santai seolah-olah kalimatnya merupakan suatu hal yang wajar. "Kamu takut jatuh?"

Beh, bukannya mundur malah nanya. Gawat nih, gawat.. 83;; Hm? Pertanyaan macam apa itu? Iya juga sih, kalau main bungee jumping kan rasanya agak thrilling gitu ya? Tapi itu kan ada pengamannya, jadi tidak mungkin jatuh dan menghantam tanah dengan indahnya *shot*.

"Kalau hanya jatuh biasa sih tidak, tapi kalau jatuh di ketinggian seperti ini..." ia melirik ke bawah melalui sudut matanya. euw... "takut..." lalu kembali meandang ke depan, "jadi, bisa tolong..." katanya, "betul-betul jatuh nih.." sambungnya dengan nada yang sangat pelan.

Dio menguap. Satu tangan menutup mulutnya sementara tangan yang lain terlidung dalam saku celana belelnya. Untungnya tak ada titik air mata kantuk terbit, karena itu berarti ia harus melepas kacamatanya. Malas ah.

"jadi, bisa tolong..."

"Tidak mau," wajah anak itu datar ketika berkata seenaknya pada Sei. "Bukankah kalian punya etika yang menyebutkan kalau berbicara pada orang lain, pandang matanya dari depan? Lagipula, kamu tak perlu khawatir begitu." Kaki Dio berputar, kini ia menghadap ke pemandangan kota dan gadis itu berada di sampingnya, tanpa merubah tempat berpijaknya sama sekali.

"Mungkin saja aku akan menolongmu kalau kamu benar jatuh, bukan?" senyuman kecil terkembang seraya kepala Dio menoleh pada gadis itu.

Oot: wadzigh =)) jangan dilempar death sytche atuh =))

=====

Ia semakin gemetar saat Dio berkata tidak ingin menolongnya. Parah... Tidak berhatikah ia dan baik-baik saja jika melihat orang meninggal di depannya? Yah, mungkin baginya menguntungkan secara pria itu mengaku adalah seorang pedagang organ dalam. di tengah ketidak seimbangannya, ia sempat berpikir jika meninggal di depan penjual organ dalam, organ2nya akan dijual, dikirim ke India, terus dicangkokan k tubuh orang lain atau malah dijadikan makanan anjing, atau, atau... Hiii.. Menjijikkan!!!

"Bagaimana caranya kamu menolongku jika aku benar-benar jatuh?" tanyanya. Kecuali yang dihadapannya adalah superman dan ia tidak perlu bertanya. Jatuh dari pesawat juga tidak perlu takut.....kan?

oot: ya ampun, masa saya lempar2 gituan =))
==

Dio masih memasang wajah yang sama, tidak menyadari kalau gadis di sampingnya gemetaran. Yah, kalau kecemasan sih terbaca cukup jelas ya. Apalagi Sei bertanya bagaimana cara ia menolongnya.

"Untuk tahu sesuatu, kita harus mengalaminya sendiri...," jawabnya tenang. Tangan yang tidak berada di dalam saku terulur pada gadis itu, bermaksud menyentuh ke arah wajah. "...Perlu kubantu?"

Oot: GAAAAAHH =)) PEMBUNUHAN BERENCANAKAH INI?? =)) *shot*

=====

"Ya, tolong," balasnya pelan mendiamkan uluran tangan Dio. Karena ia tidak bisa mundur lagi. Bukan tepian, melainkan puncak, mungkin? Karena tidak ada pijakan di belakangnya. Salahnya juga berjalan tapi tidak memperhatikan medan lain di sekelilingnya yang bisa menyelamatkannya dari terjun bebas. Tidak ada jalan lain selain menerima bantuan yang tidak jelas maksudnya dari pria itu.

Seiron menatap ke bawah, pintu markas Scotland Yard, tanah, lalu... Kota London. Uh.. Matiganimatiganihmatimatimatiiiii!!!

=====

sori pendek, lagi d jlan k sekolah soalnya ==a

oot:...mungkin? :3 *dibacok*
==

Tangan anak itu terulur. Makin dekat, makin dekat...Tidak ada yang tahu apa yang akan ia lakukan. Apakah ia akan mendorong gadis itu? Gadis yang...entahlah, sepertinya kalau terjatuh memang memiliki kesempatan setengah-setengah antara hidup dan mati. Ataukah Dio akan melakukan hal lain? Sama sekali tak terbaca dari wajahnya yang begitu-begitu saja. Dan kelihatannya gadis itu menerima perkataannya.

...Pfft.

Apa Sei mengerti, kalau yang ia maksud dengan 'perlu kubantu' adalah 'maukah kamu kutunjukkan bagaimana caranya aku akan menolongmu kalau kamu jatuh?'. Dalam kata-kata yang lebih mudah, kira-kira 'sini, kujatuhkan'.

Gadis itu menerima tawarannya.

Uluran tangan Dio semakin dekat, sedikit lagi menyentuh gadis itu, membawa tubuhnya yang memiliki batas umur relatif cepat ke tanah di bawah, kembali ke kota London yang sepertinya ia cintai begitu rupa.

Mendekat, mendekat, dan...

Menepuk bahu kiri Sei. "Hahaha," anak itu berkata santai, sedikit tawa datar keluar dari mulutnya yang tersenyum kecil. "Kamu lucu juga ya..." Dio menatap gadis di hadapannya. "Menarik."

Dan mendorong bahu yang ia tepuk ke belakang dengan santai, namun cukup kuat untuk membawa tubuh gadis itu jatuh.

Oot: Len, bersumpahlah anda akan menolong anak saia =)) kalo ga,,, kami korosu... *w* *dibacok*

=====

Dio malah tertawa datar dan berkata bahwa ia lucu. Lucu dari mana coba? Ia benar-benar tidak mengerti apa yang ditertawakan oleh pria disebelahnya itu. Ditanya juga sepertinya akan percuma saja karena ia tahu Dio tidak akan memberikan jawaban yang pasti.

Seiron dapat merasakan bahunya ditepuk, lalu didorong pelan tapi cukup untuk membuatnya terjun bebas ke tanah London yang entah kenapa dicintainya. Mulutnya tertutup rapat, tenang dan tidak berteriak seakan tahu hal seperti ini akan terjadi suatu saat nanti. Akankah ia mati sekarang? Di usia yang ke 16 dan belum melakukan pengabdian yang berarti dalam pekerjaannya? Bahkan belum menemukan pembunuh yang telah merenggut nyawa ayah yang begitu dihormatinya.

Dalam posisi yang memastikan punggungnya duluan yang menghantam tanah, tangannya menjulur ke atas seakan menggapai Dio yang berdiri ditepian atap, di tengah udara, ia berkata, "nah, bagaimana caranya kamu akan menolongku?" sebuah senyum lemah tersungging di wajahnya. Seakan tidak peduli bagaimana jadinya ia nanti.

oot: maaf, saya agak godmod x3;; kalo keberatan ntar saya edit
==

Hmm...tenang juga dia menerima ajalnya ya..., kira-kira itulah yang tertanam dalam benak Dio ketika melihat Sei melayang menuju tanah. Gadis itu bahkan tersenyum, mengulurkan tangan padanya, dan bertanya...tidak, menantangnya untuk menolong.

...Enaknya ditolong atau tidak? Habisnya ia malas melawan gaya gravitasi untuk menyelamatkan nyawa seorang manusia. Bukannya ia bakal ikut mati juga sih, tapi...

Tubuh gadis itu kini melewati jendela di tingkat teratas gedung itu. Dio bisa melihatnya di antara kegelapan malam, sementara ia masih belum bereaksi apapun. Dalam diamnya, anak itu membiarkan Sei meluncur lagi melewati jendela kedua.

...

Heh, kalau ia membunuh manusia di luar daftarnya, pihak atas akan lebih berisik lagi dan ia lebih malas menghadapi mereka ketimbang gaya gravitasi.

Segera saja ia melompat menyusul gadis itu, berlari menyusuri tembok yang mengarah padanya. Kaki Dio bergerak lebih cepat dari kecepatan jatuh Sei. Kemudian ia menendang tembok di belakangnya untuk melompat dan meraih tubuh gadis itu ke dalam gendongan bridal style. Poni Dio tertampar angin keras ketika bumi di bawahnya semakin dekat.

BAM!

Dengan kuat, ia menjejakkan kedua kakinya di jalanan dan menahan mereka berdua dari kematian....koreksi, gadis itu dari kematian. Lampu jalan di sekitar mereka berpendar kuning lemah, sementara kesunyian menyelimuti mereka. Dio menatap gadis dalam gendongannya. "Gimana rasanya? Menyenangkan ya terjun bebas begitu?" senyum anak itu tulus.

OOT: jiah =)) kok sesuai bayangan saia sih?? =)) =))

=====

Selamat. Ia tidak mati. Seiron tersenyum senang ketika Dio menangkap tubuhnya yang terjun bebas di udara walaupun dalam hati ia agak meragukan ke-eksis-an Dio sebagai seorang manusia karena kemampuannya yang seperti seorang mutan itu. Tapi apa masalahnya kalau begitu? Tidak ada hubungannya.

Ia dapat merasakan tanah dibawahnya dihantam dengan sangat keras saat mereka -lebih tepatnya, Dio- mendarat di tanah... Dengan posisi berdiri tegak sementara ia sendiri dalam gendongan Dio dan entah kenapa ingin terus seperti itu.

Hari semakin malam dan bulan bersinar semakin terang, suasana sunyi... seperti menandakan mahluk-mahluk lain yang sudah masuk ke dalam tempat tidur mereka. Ia dapat merasakan tubuhnya melemas. Mungkin karena baru saja melawan gravitasi dan rasa takut yang ia simpan jauh-jauh di dalam hatinya, atau karena sudah waktunya tidur?

Ia balas menatap Dio dengan mata yang setengah terbuka, "tidak buruk..." balasnya sambil tersenyum lemah. "Maukah kamu mengajakku untuk melakukannya lagi, lain kali...?" sepertinya ia selangkah lebih dekat menjadi atlet bungee jumping sekarang..*shot*